Orang percaya sering mengalami sindrom minoritas di tengah-tengah mayoritas belum percaya. Hal ini adalah gejala yang wajar secara manusiawi.
Dengan kehidupan ekonomi yang terbatas, di tengah-tengah komunitas masyarakat Indonesia yang rentan terhadap gejolak sosial, dapat menjadi alasan bagi orang percaya untuk mengesampingkan tugas misi gereja Tuhan. Lantas, adakah cara bisa lepas dari sindrom ini, sehingga kita dapat melakukan misi gereja Tuhan?
Isu Kristenisasi juga dapat menjadi alasan bagi orang percaya untuk tidak melakukan misi gereja. Email kami, apabila ada tanggapan Anda.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila kita tidak punya nyali untuk menyuarakan kebenaran firman Allah. Tantangan di sekitar kita begitu besar dan kompleks, bukan?
Namun, marilah kita belajar dari seorang tokoh Alkitab yang tidak dikuasai oleh sindrom tersebut.
Baca juga: Sikap Orang Kristen Sebagai Kaum Minoritas Di Tempat Kerja
Yusuf Mendapat Mimpi
Alkitab mencatat dalam Kitab Kejadian, Yusuf mendapatkan visi yang jelas dari Allah melalui mimpinya. Namun, dia harus menunggu belasan tahun hingga visi itu tergenapi dalam hidupnya.
Yusuf mengalami berbagai proses pembentukan Tuhan. Yusuf mengalami penganiayaan dari saudara-saudaranya. Saudara-saudara menjual dia menjadi budak di Mesir.
Yusuf Sebagai Orang Asing di Mesir
Yusuf di Mesir tinggal di rumah Potifar. Potifar adalah seorang pejabat tinggi yang tidak mengenal Tuhan. Yusuf bukan hanya minoritas, tapi juga seorang asing di Mesir. Dia hidup di tengah lingkungan dan kebudayaan yang lain dengan dirinya.
Sebagai orang percaya dia hanya sendirian. Sungguh pun begitu, Tuhan menyertai Yusuf. Firman Tuhan menulis, “Tetapi Tuhan menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu” (Kejadian 39:2).
Yusuf menjadi kesaksian yang luar biasa. Sebagai anak Tuhan yang berintegritas, Yusuf menjadi berkat. Tuhan menyertainya karena dia hidup berkenan kepada Tuhan.
Yusuf Menjaga Kekudusan
Isteri Potifar menggoda Yusuf. Yusuf menolaknya. Dia menolak semata-mata bukan karena takut kepada Potifar. Namun, dia takut kepada Allah. “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9b).
Yusuf tidak mau berbuat dosa bukan karena takut ketahuan manusia. Namun, karena dia takut akan Tuhan. Integritas dibayar mahal dengan fitnahan. Nama baiknya rusak. Bukan karena kesalahannya. Tetapi karena dia menjaga kekudusan di hadapan Tuhan.
Yusuf Menjadi Saluran Berkat Tuhan
Yusuf hidup menderita di negeri yang seluruh penduduknya tidak mengenal Tuhan. Kendati demikian, Yusuf tidak meratapi kesengsaraan dan penderitaannya. Yusuf tidak menyalahkan Tuhan walaupun dalam krisis kehidupan di tengah lingkungan yang sulit.
Yusuf tetap hidup berkenan kepada Tuhan. Hidupnya menjadi saksi dan kemuliaan bagi Tuhan.
Alkitab mencatat bahwa setelah tahun-tahun penderitaannya berlalu, ia justru menjadi orang yang terkemuka di Mesir. Ia menjadi saluran berkat bagi seluruh rakyat Mesir.
Yusuf mendapat kepercayaan untuk mengelola perekonomian Mesir. Akhirnya, Tuhan memimpin keluarganya datang dan menetap di Mesir. Kemudian berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar.
Yusuf sebagai kaum minoritas mampu menjadi berkat di Mesir dan juga menjadi berkat buat keluarganya. Sejatinya orang percaya sebagai kaum minoritas juga demikian. Kita harus menjadi berkat di tengah-tengah orang yang belum percaya karena itulah perintah Tuhan.
Pertanyaan Diskusi:
- Bagaimana sikap Anda menyikapi isu mayoritas-minoritas yang berkembang di masyarakat?
- Coba ceritakan salah satu kasus diskriminasi yang Anda ketahui! Bagaimana tanggapan Anda terhadap kasus tersebut? Jelaskan!
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.