Sebuah penelitian mengatakan bahwa seseorang mulai kehilangan ingatan akan masa kecilnya mulai usia 7 tahun. Namun, bukan berarti bahwa semua peristiwa di masa kecil benar-benar terlupakan. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang masih diingat dalam batas tertentu. Ingatan akan masa kecil saya yang paling berkesan, saya tuangkan dalam tulisan ini.
Waktu saya berumur 5 tahun, Bu Nelis, sapaan akrab terhadap beliau, melayani di gereja saya. Beliau ramah dan lembut terhadap semua orang. Ingatan saya tentang beliau tidak terhapuskan.
Perempuan Berhati Gembala
Beberapa kali beliau berkunjung ke rumah saya. Beliau menunjukkan kepedulian dan kasih yang tulus kepada keluarga saya. Sebagai gembala, beliau menggembalakan dengan “ketulusan hati” (Mazmur 78:72).
Melalui kehadiran beliau, Tuhan bekerja di hati ayah saya. Dulunya ayah saya tidak pernah ke gereja. Bu Nelis mampu mengubah persepsi ayah saya, sehingga ia tergerak dan mulai aktif bergereja.
Doa Adalah Kekuatannya
Setiap kali berkunjung ke rumah saya, beliau selalu berdoa untuk seluruh keluarga dalam pergumulan yang kami hadapi. Ia menyebut nama kami satu persatu dalam doanya yang penuh keyakinan. Karena itu, saya yakin bahwa doa adalah kekuatan beliau. Dalam segala situasi, kunci beliau hanya satu “tetaplah berdoa” (1 Tes. 5:17).
Hamba yang Berintegritas
Dalam konflik di gereja, beliau tidak mudah terpengaruh dan kehilangan integritas sebagai seorang hamba Tuhan. Seperti kata Matius 5: 37, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak.” Beliau berani mengatakan tidak untuk sesuatu yang salah dan mengatakan ya untuk sesuatu yang benar.
Setelah dua tahun melayani di gereja saya, Tuhan memimpin beliau untuk pindah pelayanan ke luar kota. Setelah perpindahan itu, saya tidak pernah mendengar kabar tentang beliau.
Tahun berganti tahun, hingga akhirnya saya lulus SMA tahun 2012. Saya memutuskan untuk masuk sekolah teologi. Dalam kesaksian tentang panggilan saya untuk menjadi hamba Tuhan, Tuhan memakai Bu Nelis untuk mempertegas panggilan saya.
Pada tahun terakhir saya di sekolah teologi, sekolah saya menjadi tuan rumah pertemuan rektor-rektor sekolah teologi se-Indonesia. Waktu itu saya menjadi salah satu panitia di bagian registrasi. Setiap peserta yang datang melakukan registrasi ulang.
Selang beberapa waktu kemudian, saya dikejutkan oleh kehadiran seorang ibu. Ibu ini menghampiri meja tempat saya bertugas. Ia menunjukkan kartu identitasnya sebagai bagian dari prosedur registrasi.
Saya memperhatikan foto dan nama yang tercantum di dalamnya. Kenangan tentang seorang pendeta di masa kecil saya mulai muncul. Saya yakin bahwa beliau adalah Bu Nelis. Akhirnya, saya memperkenalkan diri kepada beliau.
Setelah 15 tahun tidak bertemu, saya bersyukur bisa bertemu dengan Bu Nelis. Sekarang beliau adalah rektor di sebuah STT. Saya bersyukur karena hidup beliau sebagai hamba Tuhan telah menuntun saya mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan.
Oleh: Yunus Septifan Harefa
Kategori: Pemimpin yang Meninggalkan Kesan Mendalam
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.