“Ketika hatiku merasa pahit dan
buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya,
aku dungu dan tidak mengerti,
seperti hewan aku di dekat-Mu.
Tetapi aku tetap di dekat-Mu;
Engkau memegang tangan kananku.”
Mazmur 73: 21-23
Aku orang tua tunggal. Enambelas tahun yang lalu, suami yang aku kasihi dan ayah dari anak-anakku memilih untuk menikahi wanita lain. Ia sekaligus memilih meninggalkan Kristus.
Saat itu anak sulungku baru menginjak usia hampir 5 tahun. Ia menyandang autistik-nonverbal dengan gangguan sensori yang cukup parah. Bayi perempuanku baru berusia 10 bulan.
Rasa Kehilangan yang Dalam
Suamiku adalah seorang majelis dari gereja yang cukup besar di Jakarta. Singkat cerita, suatu hari Pendeta dan kawan-kawan kami di gereja sama terkejutnya dengan aku, saat menemukan ada surat cerai untukku. Aku tidak pernah menandatangani perjanjian cerai ataupun mengetahui adanya proses perceraian.
Anda pasti heran. Tetapi dalam kesaksian singkat ini, cukuplah jika Anda mengetahui garis besarnya saja, agar bisa membayangkan situasi sulit saat itu. Dalam waktu singkat, aku kehilangan suami, rumah, dan rasa percayaku kepada manusia dan kepada Tuhan. Pedihnya tak terkira.
***
Bimbingan Bapak
Menjelang hari pernikahan suamiku, aku duduk termangu memangku bayiku di teras rumah retret. Terdiam. Tidak bisa berpikir, tidak bisa merasa. Aku dungu dan tidak mengerti, persis seperti ayat di atas.
Bapak dan ibu pendeta yang sudah cukup lanjut usianya menemaniku duduk. Dulu beliau yang memberkati pernikahanku. Ibu membawakan kopi kesukaanku yang masih mengepul hangat. Mataku sembab luar biasa sampai sulit untuk melihat. Aku sangat sedih.
Bapak dan Ibu lebih banyak diam. Kitab Ayub mencatat bahwa sahabat-sahabat Ayub diam selama tujuh hari tujuh malam karena melihat penderitaan Ayub yang sangat besar. Seperti itulah Bapak dan ibu, mereka menyelami kepedihanku. Mereka tidak menggampangkan lukaku.
Setelah lama diam, Bapak melakukan sesuatu yang sangat mempengaruhi hidupku sampai sekarang. Bapak memintaku mengulurkan tangan kanan dengan posisi telapak tangan terbuka. Lalu beliau meletakkan sebatang paku di telapakku. Ya, benar, sebatang paku!
Kemudian beliau memintaku menggenggam paku itu kuat-kuat. Ujung paku itu menusuk kulitku. Sakit! Aku cepat-cepat membuka genggamanku.
Dengan lembut beliau memberitahu : “Jika terus kau genggam erat maka paku itu akan terus melukaimu. Tidak demikian jika telapak tanganmu terbuka, mempersilakan Tuhan mengatur semuanya dalam kebijaksanaan-Nya.”
Terbukanya Wawasan Berpikirku
Air mataku mengalir. Aku langsung menangkap apa maksud Bapak. Seandainya Bapak mengkhotbahiku Roma 8:28, aku pasti memberontak di dalam hati. Sebab di tengah kubangan rasa sakitku saat itu, aku tidak akan mampu menangkap kebaikan-kebaikan tersembunyi di dalamnya.
Seandainya saja Bapak mengutip Yeremia 29:11, aku pasti belum bisa menerima, sebab dukaku sangat kental mencekik jiwa. Aku tidak akan sanggup mengintip rancangan damai sejahtera seperti apa yang ada di balik semua luka ini.
Aku sangat berhutang budi kepada Bapak yang mempedulikan kesengsaraanku. Dia meringkaskan seluruh wawasan teologis yang sulit tentang kehendak manusia dan pemeliharaan Allah ke dalam satu bentuk sederhana: paku. Dia menghidupi perkataan Paulus: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15). Tidak semua orang bisa sabar menangis dengan orang yang menangis.
***
Selama enambelas tahun ini, aku menyimpan makna-makna indah dari peristiwa penting pagi hari itu:
PAKU.
TELAPAK TANGAN YANG TERBUKA.
HATI YANG LAPANG.
RELA MELEPASKAN.
BERHENTI MENGGENGGAM.
KEBIJAKSANAAN TUHAN.
Oleh: Tyas Budi Utami
Kategori: Bimbingan yang Membuka Wawasan Berpikir Saya
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.